
Semua orang tua pasti menyayanginya anaknya, namun rasa sayang itu ternyata bisa merusak mental dan psikologis seorang anak lho, terutama jika cara orang tua tersebut salah. Namun, mana ada sih orang tua yang mau disalahkan? Nah, hati- hati! Jika kita selalu menyalahkan anak dan menganggap diri kita yang paling benar mungkin kita termasuk toxic parents! Apa sih toxic parents? Yup, toxic itu racun lo moms! Toxic parents adalah orang tua yang melakukan tindakan yang dapat meracuni pikiran anak-anaknya dengan cara negatif. Secara fisik, toxic parents itu mungkin bisa saja suka memukul, mencubit dan berperilaku kasar pada anaknya, namun ternyata ada juga orang tua yang tidak pernah memukul, mencubit, dan melakukan kekerasan fisik namun melakukan hal-hal yang dapat merusak mental anak bahkan membunuh karakter baik dalam diri anak. Ini lebih berbahaya sebenarnya, karena tak terlihat dengan kasatmata. Luka fisik mungkin bisa sembuh, namun luka hati akan selamanya tersimpan di sanubari seorang anak. Apa saja ciri-ciri toxic parents ya?
1. Terlalu berambisi dan memaksakan kehendaknya

Banyak orang tua yang terlalu berambisi menjadikan anak menjadi apa yang mereka mau, bukan menjadi apa yang anak mau. Anak diikutkan les ini itu, sekolah tambahan, berbagai kontes lomba, tanpa pernah menanyakan apakah ia benar-benar tertarik mengikutinya. Orang tua yang memaksakan kehendaknya membuat anak merasa tak punya pilihan dan hanya mengikuti perintah orang tua saja, maka gairah belajarnya pun terkikis lalu hilang. Passion yang harusnya diasah akan musnah seiring waktu. Cita-cita sudah ditetapkan, tak boleh menawar. Contohnya jika anak berbakat di bidang seni namun memaksanya untuk belajar sains, betapa tersiksanya dia. Jika pun ia berhasil di bidang sains ,ia takkan mampu menjalankan profesi itu dengan sepenuh hati, namun yang ada malah gagal dan frustasi. Contoh lainnya adalah saat anak kita seorang introvert dan suka bekerja dibalik layar namun dipaksa bekerja di tempat pelayanan publik, maka yang terjadi adalah, anak yang stres karena harus bertemu orang banyak dan berbeda setiap hari dan tak mampu memberi pelayanan yang optimal.
2. Tidak memberikan kesempatan anak menyampaikan emosinya

Jika kita sering memaksa anak diam ketika ia menangis dan memarahinya ketika ia mengekspresikan emosinya, maka kelak akan tumbuh menjadi anak yang emosinya labil. Menangis hanyalah salah satu cara menyampaikan emosi dan itu hal yang wajar, namun jika kita tak pernah memberikan kesempatan bagi anak meluapkan emosinya maka perlahan ia pun tumbuh menjadi anak yang pemurung, tak mempu mengungkapkan perasaannya bahkan perasaan cinta sekalipun pada keluarganya. Sering gak melihat orang dewasa yang suka menangis tanpa sebab lalu kalau emosi suka melempar dan menghancurkan barang, bisa jadi ketika ia masih kecil ia tak diberi kesempatan meluapkan emosinya dengan cara yang benar.
3. Menjadi Rentenir

Orang tua merasa bahwa apa yang dia lakukan selama ini harus berbalas. Orang tua sudah banyak mengeluarkan biaya sejak kecil hingga si anak dewasa , hingga ia harus membayar kembali ketika sudah bekerja. Membantu orang tua dalam segi finansial adalah hal yang mulia namun bukan berarti menekan anak untuk selalu membiayai apapun keinginan orang tua apalagi diluar batas kemampuannya. Secara tidak langsung, orang tua mengajarkan bahwa cinta itu bersyarat, bukanlah tulus. Hidup ini harus take and give, bukan give and give. Cinta bisa dibeli dengan uang, begitupun kebahagiaan. Betapa mengerikan ya toxic parents seperti ini!
4. Egois
Orang tua yang egois menjadikan dirinya sebagai pusat kebenaran. Hanya pandangannya yang paling benar sementara anak selalu salah. Anak wajib menurut, tak boleh membantah. Orang tua juga tak pernah menanyakan pendapat anaknya, bahkan untuk hal-hal sepele misalnya ingin liburan dimana atau ingin makan apa.Keegoisan orang tua ini kerap membuat hubungan keduanya menjadi renggang. Anak merasa tak nyaman berada didekat orang tuanya karena selalu disalahkan.
5. Tidak mengajarkan batasan
Suka melihat orang menyerobot antrean atau memotong pembicaraan orang lain? Atau melihat anak yang suka sembarang masuk rumah orang tanpa mengucapkan salam? Kemungkinan besar orang tuanya tak mengajarkan batasan. Batasan ini juga berhubungan dengan etika dan sopan santun lo. Kalau anak suka serobot sana sini, bisa jadi orang tuanya juga berperilaku yang sama.
6. Melabeli Anak Dengan Negatif

Si cengeng, si pemarah, si pembangkang adalah label negatif yang kerap disematkan orang tua pada anak padahal hal tersebut berefek negatif untuk perkembangan jiwanya. Label negatif tersebut jika diberikan terus menerus akan mensugesti anak bahwa ia memang pantas menerimanya dan ia pun berperilaku seperti label tersebut. Label negatif ini akan terus terbawa hingga dewasa dan susah menghilangkannya.
7. Tidak Menghargai Usaha Anak

Pernahkah anda memarahi anak karena ia memecahkan piring saat mencuci padahal ia telah berusaha? Kalo iya, kamu termasuk toxic parents yang tidak menghargai usaha anak. Anak pun perlu diapresiasi atas usahanya berbuat baik meskipun kecil agar termotivasi untuk melakukan terus menerus. Apresiasi tak harus berbentuk materi, cukup dengan pelukan atau pujian yang tulus sudah membahagiakan hati anak. Anak yang selalu dianggap ‘nakal’ bisa jadi ia kurang diapresiasi dan selalu dikritik orang tuanya.
Selama ini mungkin kita berfikir kita sudah menjadi orang tua yang baik bagi anak. Semua terlihat normal-normal saja dan berjalan di koridor kita. Namun pernahkah kita bertanya pada anak bagaimana perasaannya terhadap orangtuanya selama ini? Apakah ia bahagia dengan hidupnya ataukah hanya menjalankan apa yang orangtua inginkan? Mungkin tanpa kita sadari, kita pun mengalami toxic ketika diasuh oleh orang tua kita terdahulu dan itupun akan berulang kembali ketika kita memiliki anak. Yup, kembali kepada masalah inner child yang tak pernah selesai.
Lalu, bagaimana memperbaikinya jika ternyata kita terlanjur menjadi toxic parents? Menurut saya yang pertama adalah berdamailah dengan masa lalu lalu maafkan diri sendiri. Hanya dengan memaafkan maka kita bisa menerima segala bentuk ketidakpuasan/ketidakbahagiaan di masa kecil. Hanya dengan memaafkan kita bisa memutuskan mata rantai pengasuhan negatif di masa lalu dan mulai yang baik kepada anak. Buang kalimat, “Waktu ibu/ayah kecil dulu…” atau “Pokoknya kamu harus…..,” Lalu yang kedua, Mendekatkan diri pada Allah. Semakin kita mendekatkan diri pada Allah, maka kita akan menyadari bahwa anak hanyalah titipan, bukan milik kita. Mereka punya hak untuk memilih dan mereka pun punya kehidupan sendiri. Mendekatkan diri pada Allah berarti kita sadar anak adalah amanah yang amat besar. Kita ditugasi untuk mengasuh dengan sebaik-baiknya. Anak bukan selembar kertas putih yang bisa kita bentuk dan warnai sesuka kita karena sesungguhnya bakat anak sudah diinstall Allah dalam dirinya, kita tinggal melatih bakat tersebut dan membersamainya hingga ia mahir dan mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kemudian, yang ketiga, minta maaflah pada anak kita. Peluk ia dan katakan bahwa kita mungkin bersalah padanya selama ini dan ajak ia bersama-sama memperbaikinya dan mulai awal yang baru. Tanyakan pendapatnya dan isi hatinya. Lalu mulailah berdiskusi bersama tentang apa yang menjadi impiannya dan cara-cara apa saja yang bisa dilakukan untuk mewujudkan impiannya tersebut. Jika hati orang tua dan anak telah terbuka dan saling memafkan maka akan lebih mudah membersamai anak. Pilih mana, anak yang penurut namun mudah stress dan tertekan atau anak yang punya pendirian sendiri namun tumbuh jadi anak yang mandiri dan bahagia? Orang tua yang bijak tentu tahu jawabannya.