Sejak awal kehamilan, saya dan suami sudah sepakat untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi kami nanti. Tanpa tambahan susu formula apapun, air juga tidak. Maka belajarlah kami sebagai calon orang tua baru tentang seluk beluk ASI dan menyusui, semua teori dibaca baik dari buku-buku dan internet, bergabung dengan komunitas ASI, ikut kelas laktasi, bertanya kepada teman-teman yang sudah berpengalaman atau kepada ahlinya dan lain-lain. Dan ternyata menyusui tidaklah segampang itu. Butuh tekad yang kuat dan hati teguh. Masih tergambar jelas di benak saya, bagaimana perjuangan kami sebagai orang tua baru untuk memberikan ASI pada awal-awal kehidupan bayi kami. Suami sudah berpesan kepada para perawat rumah sakit agar tidak memberikan susu formula pada bayi kami meskipun bayi kami tinggal terpisah di ruangan bayi.
Entah bagaimana akhirnya, bayi kami diperbolehkan satu ruangan dengan saya (room in) padahal saya bukanlah pasien kamar kelas 1 atau VIP room tapi kamar kelas 2 yang terdiri dari 4 orang pasien lainnya. Dan dari 4 pasien yang melahirkan dan rawat inap, hanya bayi saya yang room in dengan saya dengan catatan kami bertanggung jawab penuh terhadap apa yang terjadi dgn bayi kami. Kami mengiyakan, maka malam malam di rumah sakit menjadi momen yg sulit kami lupakan. Betapa suami saya yg dengan susah payah menggendong bayi kami yang masih kecil sekali untuk membantu saya mencari posisi menyusui yang pas, sementara kondisi saya yg tidak memungkinkan banyak bergerak pasca operasi.
Saya harus berusaha keras menyusui sambil menahan rasa sakit bekas jahitan yang masih nyut nyutan, kateter masih terpasang, begitupun infus untuk tenaga juga pain killer yg terus menerus dimasukkan untuk mengurangi rasa sakit, bahkan untuk miring pun aduhai sekali nyerinya. Suami mati matian menyemangati saya untuk terus menyusui meskipun ASI saya di hari pertama belum keluar namun kami yakin semakin sering disusui dan dihisap bayi, akan menstimulasi keluarnya ASI, padahal saya tahu kondisi nya saat itu tidak fit karena batuk. Walau saat itu desakan keluarga mengatakan untuk memberi sufor sementara saja saat di RS, karena tak tega melihat kondisi saya, suami tetap teguh. Dia yakin saya kuat dan melihat keteguhannya saya seakan mendapatkan energi positif untuk terus bertahan menyusui.
Akhirnya di hari kedua , kolostrum saya keluar dan Alhamdulillah bayi saya sempat meminumnya. Hari ketiga, kondisi saya mulai membaik dan sudah boleh belajar berjalan pelan pelan di ruangan dan ke kamar mandi, ASI saya mulai keluar sedikit demi sedikit. Namun, drama lain berlanjut. Payudara saya terasa sakit bgt setiap menyusui, puting lecet dan perih setiap dihisap si bayi. Sudah mencoba pakai krim puting namun belum sembuh sudah harus menyusui. Ingat banget, awal-awal belajar menyusui setelah pulang dari rumah sakit, nyeri luar biasa sampai kaki saya harus saya tekan tekan ke sofa untuk menahan rasa sakit. Disaat kondisi pasca operasi yg blm pulih, harus rela begadang setiap malam karena setiap 2-3 jam bayi menangis minta disusui, harus rajin pumping saat bayi bobo agar payudara tidak bengkak, terbayang gimana wajah saat bangun pagi, mata sembab, perut nyut-nyutan masih diperban, dan tulang-tulang terasa nyeri dan pegal. Namun, segala rasa sakit terbayarkan melihat si kecil tumbuh sehat. Memandang wajahnya yang tertidur pulas setelah disusui adalah kebahagiaan tersendiri sebagai seorang ibu dan menjadi asi booster paling ampuh. Bener-bener harus pinter bagi waktu antara menyusui, memompa ASI, cuci dan setrilin pompa ASI, nyetok Asi ( untuk didinginkan di chiller jika harus pergi hari itu dan sebagian lagi di bekukan di freezer) dengan kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, masak, atau sekedar meluruskan punggung yang pegal. Masih byk lagi tantangan menyusui yang harus hadapi, namun yang terpenting adalah dukungan penuh dari keluarga terdekat. Buat para pejuang ASI, tetap semangat ya! Insya Allah, amanah menyusui ini menjadikan kita perempuan tangguh yang melahirkan generasi sholeh dan sholehah yang kuat dan cerdas.