Sudah bukan hal yang asing kan mendengar istilah comfort zone alias zona nyaman? Banyak sekali motivator yang menggadang-gadang bahwa kita harus keluar dari zona nyaman agar bisa lebih baik. Sebenarnya sih harus didefinisikan dulu comfort zone menurut kita itu apa, karena setiap orang pasti berbeda, sebagaimana kita mendefiniskan sukses. Kadang kita suka mikir lihat orang yang kelihatannya udah sukses, udah punya pekerjaan yang mapan, rumah dan mobil yang mewah, punya suami dan anak-anak yang lucu-lucu, terus kenapa sih mau capek-capek jadi relawan kemanusiaan disebuah negara perang yang sedang berkonflik misalnya. Ya, karena menurut dia, keluar dari zona nyamannya adalah dia ingin membantu sesama dengan berkontribusi untuk kemanusiaan. Contohnya sedikit berat ya dan terkesan idealis. Baik, kita cari contoh sederhana saja.
Comfort zone menurut saya sih sebenarnya tidak bisa benar-benar seratus persen. Kenapa? Karena senyaman-nyamannya kita misalnya dalam bekerja di sebuah perusahaan, pastilah ada tidak enaknya kan, mungkin teman-teman lingkungannya baik tapi pimpinannya kurang bijak, atau gajinya memadai namun tekanan kerjanya berat, dll.
Menurut saya, comfort zone lebih dimaknai sebagai sebuah keadaan yang membuat kita tidak bergerak dan tidak produktif atau tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki kondisi saat ini, bagaimanapun kondisi tersebut. Contohnya saya punya teman, yang memiliki pekerjaan yang menurut dia tidak menyenangkan, mulai dari lingkungannya dan job descriptionnya namun ia tetap bertahan dengan kondisi tersebut meskipun tubuhnya mulai drop dan sering sakit-sakitan, karena ia merasa nyaman dengan gajinya. Atau contoh kasus lain, seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan yang bergengsi, ia tetap bertahan meskipun jam kerjanya padat, tidak fleksibel bahkan di akhir pekan ataupun hari minggu jika ada event tetap harus bekerja, ditambah lagi harus meninggalkan anak-anak dengan pengasuh dan anaknya juga sering sekali masuk rumah sakit. Ia bertahan karena merasa fasilitas yang ia dapat dari kantornya cukup lengkap, terutama fasilitas kesehatan untuk anaknya yang sering sakit. Apakah jalan keluarnya harus resign? Ya tidak selalu, meskipun jika pada akhirnya jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah resign, tentu harus melalui pertimbangan yang matang, jangan sampai setelah keluar dari comfort zone , kita malah masuk ke suicidal zone , padahal seharusnya menuju growth zone.
Duh, suicidal zone itu apa lagi? Suicidal zone adalah kondisi dimana kita keluar dari comfort zone tanpa persiapan yang cukup, tanpa mengobservasi terlebih dahulu kenapa kita harus keluar dari comfort zone saat ini, dan tanpa support system yang memadai. Ya, contohnya tadi, jika kita sudah berada di posisi pekerjaan yang menurut kita ‘nyaman’ dan tiba-tiba mau keluar tanpa alasan yang matang, dan setelah keluar kita malah tidak tahu mau ngapain, ya itu bunuh diri namanya. Sebelum memutuskan resign, tentunya kita sudah menyusun rencana apa yang harus dijalankan, apakah pindah ke perusahaan baru yang jam kerjanya fleksibel, atau istirahat terlebih dahulu untuk memperbaiki kesehatan atau mungkin liburan sejenak sambil mulai mencari-cari peluang baru. Kondisi suicidal zone ini selain berbahaya untuk diri sendiri juga orang lain, karena bisa menjadi beban orang lain, dan kita pun jadi depresi. Duh, jangan sampai ya!
Agar tidak masuk ke suicidal zone bagaimana? Ya, belajar! Masuklah ke learning zone, kita kembali belajar, introspeksi, membaca, mengobservasi, dan mengevaluasi kembali apa-apa saja yang sudah kita lakukan selama ini. Apakah yang saya lakukan selama ini sudah benar? Sudahkah memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain? Atau malah kondisi saya saat ini membuat saya tidak berkembang, membuat fikiran saya tidak open minded, membuat wawasan saya semakin sempit atau malah membuat saya semakin jauh dari keluarga dan teman-teman? Akan semakin baik setelah evaluasi diri, kita lakukan take action alias tindakan nyata. Nah, itulah namanya kita berada di growth zone alias zona berkembang.
Lalu, kapan kita merasa harus benar-benar keluar dari ‘comfort zone’ ? Keluarlah dari comfort zone saat kita merasa hidup kita mulai terjebak ke sebuah rutinitas yang itu-itu saja dan membuat pikiran kita menjadi tidak terbuka pada hal-hal baru. Comfort zone yang mulai tidak sehat adalah saat kita merasa bahwa pendapat kita paling benar, kehidupan kitalah yang paling baik, tidak suka mendengar saran dan nasihat orang lain, tidak mau dikritik, mulai suka menjudge kehidupan orang lain dan tidak mau belajar hal-hal baru. Comfort zone yang seperti ini merugikan diri sendiri dan orang lain dan lama-lama bisa menumbuhkan efek negatif. Keluarga dan teman-teman bisa menjauh. Kitapun jadi tidak produktif karena melakukan hal-hal yang itu-itu saja tanpa berniat mencoba hal-hal baru yang memperkaya wawasan.
Banyak orang yang gak mau keluar dari comfort zone. Kenapa? karena keluar dari comfort zone memang gak mudah, bahkan cenderung “harus merasakan sakit”. Karena sejatinya manusia itu gak mau merasakan ‘sakit’, maunya yang enak-enak aja. Namun, enak sesaat dan menderita seumur hidup bukan pilihan yang baik bukan?Lebih pilih mana berubah karena diri sendiri atau berubah karena keadaan?
Bicara soal comfort zone, saya pun mengalami. Ketika dulu masih single, tahunya kan senang-senang melulu karena jiwa masih muda, senang jalan kesana kemari, mau beli apa saja ya gak perlu diskusi dulu dengan pasangan, mau pulang malam juga gak masalah. Nah, ketika saya memutuskan untuk menikah, saya melalui sebuah fase baru dalam kehidupan. Saya harus keluar dari comfort zone saya sebagai perempuan single dan beralih status menjadi istri yang kemana-mana harus izin suami, jika membeli sesuatu harus diskusi dulu, tidak bisa seenaknya menghabiskan uang tanpa tahu itu kebutuhan atau sekedar keinginan. Dan peran saya bertambah ketika hamil dan melahirkan , status saya berubah menjadi seorang ibu. Menjadi seorang ibu tidak selalu indah, kawan, ada masa-masa kita ingin menyerah, merasa lelah dan kadang drop, merasa belum berhasil jadi ibu yang baik, namun ketika kita tertantang menjadikan ini learning zone, untuk kembali belajar menjadi orangtua dan membuka hati serta fikiran untuk belajar parenting, maka kita pun menuju growth zone. Contohnya menyusui. Menyusui bukan sekedar membuka kancing baju lalu memberikan payudara kita untuk dihisap si kecil. Bukan. Sama sekali bukan. Ada hal yang lebih penting. Ada bonding yang terjalin antara ibu dan anak, ada kekuatan cinta yang terus mengalir hingga ia dewasa, tanpa sadar menyusui adalah membangun generasi masa depan yang lebih baik, kita berikan ia imunitas tubuh secara alami, kita berikan ia asupan nutrisi paling lengkap yang telah Allah ciptakan dengan sempurna. Jadi kalau ada yang mengatakan, anak membuat kita berhenti bergerak di masyarakat, itu keliru! Halo para ibu, mendidik anak sama dengan mendidik generasi baru, anakmu adalah bagian dari masyarakat dan warga dunia kelak. Membangun generasi itu dimulai dari rumah, dari keluargamu sendiri. Yup, menjadi istri dan ibu membuat saya keluar dari comfort zone menuju learning zone agar sukses memasuki growth zone. Apa lagi ya? Wah banyak, kamu bisa menyusun sesuai versi kamu dan dalam berbagai aspek kehidupan . Saat kamu berada di comfort zone lalu kamu bergerak menuju learning zone untuk growth zone, kamu menjadi pribadi yang lebih hidup.
Untuk bisa bergerak dari comfort zone menuju growth zone gimana? Selain belajar dan terus memperkaya wawasan, kamu perlu cari support system. Support system bisa darimana saja, suami, keluarga dekat, sahabat, komunitas, ataupun media sosial. Dukungan itu perlu agar kita tidak merasa sendirian dan proses learning zone yang menantang pun bisa dilewati.
Lalu kapan kita tahu kita sudah berada di growth zone? Sulit memang. Karena sejatinya manusia harus terus berkembang, manusia itu terus belajar kalau ia tidak mau tergerus dan tertinggal. Jangan artikan belajar itu dengan duduk diam di sebuah ruangan dan membaca dalam diam, tidak sesempit itu, karena semua yang kita lakukan adalah belajar. Bagi saya, growth zone mungkin akan terasa saat kita bisa memberi manfaat bagi orang lain ya, pribadi kita juga lebih hangat dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan, menjadi problem solving bukan trouble maker, menyebarkan nilai-nilai kebaikan bukan menyebarkan hoax dan kebencian. Menulis blog pun bagi saya juga cara saya berbagi pengetahuan , berbagi informasi agar bermanfaat bagi yang membutuhkan. So, jika kamu merasa artikel ini bermanfaat, maka share ya ke berbagai media sosial yang kamu punya. Sharing is caring. Berbagi berarti peduli. Spread the love, moms and always learning to growth zone!