
“You and only you are responsible for your life choices and decisions.” -Robert T. Kiyosaki
Udah lama ga pernah cerita FridayStory lagi ya. Bagi yang belum pernah baca blog saya, FridayStory adalah cerita real life saya tentang berbagai hal , hikmah, pembelajaran, hal-hal positif yang saya dapat di hari Jumat. Karena bagi saya Jumat adalah hari penuh berkah, karena si kecil pun lahir di hari Jumat pagi.
Cerita FridayStory kali ini adalah ‘Making your own decision’ terutama keputusan yang saya buat setelah menjadi ibu. Hhmm, beda rasanya, saat masih single kita bisa sesuka hati saja bertindak dan membuat keputusan, yang penting tidak merugikan orang lain, gak terlalu mikirin apa kata orang. Nah, saat sudah berstatus istri , tentu beda lagi, ibarat dua isi kepala menjadi satu, apa-apa harus diskusi dulu dengan suami, juga melakukan sesuatu harus atas izin suami. Bukan sesuatu yang memberatkan, malah dengan adanya suami, ada filter kalo ternyata keputusan yang akan kita ambil akan berdampak kurang baik nantinya, nah suamilah yang mengingatkan kita. Indah bukan berpasangan dengan ikatan yang disucikanNya? hehe.. dan saat sudah punya anak , keputusan tidak hanya diambil berdasarkan diskusi berdua saja dengan suami, tetapi memikirkan tentang kenyamanan dan kebaikan anak juga. Meskipun saat ini anak saya masih bayi dan belum bisa diajak diskusi tentang sesuatu hal, saya selalu ceritain apa-apa saja yang sedang saya lakukan di rumah saat bersamanya, misalnya saya selalu bilang “Sayang, Bunda sedang bikin bubur untuk makan adek sore ini, tunggu di tikar (playmatt) ini ya, main-main sendiri dulu ya.” atau saya akan minta izin jika akan meninggalkannya sebentar meski hanya untuk mandi dan sholat. Si kecil sekarang sudah mengerti kalo saya sholat, dia tidak rewel, tapi diam sambil memperhatikan saya sholat di atas playmatt, sedangkan untuk mandi dan makan memang butuh kesabaran dan diberitahu berulang ulang dengan lembut agar ia mengerti (masih bayi 6 bulan loh). Bahkan terkadang saya memberinya pilihan seperti, “Adek hari ini mau makan buah apa? Puree buah naga atau puree buah pir sambil menunjukkan buah tersebut kepadanya. Meski ia belum sepenuhnya mengerti, tetap saya lakukan.
Menjadi ibu adalah anugerah namun bukan hal mudah. Buat ibu baru pasti pernah ngerasain gimana bingungnya mengurus anak ditengah banjirnya nasihat, saran, komentar negatif, kritik yang tak menyenangkan dll. Anak nangis dibilang ASInya kurang, kasih sufor aja, anak nangis walau udah disusuin, dibilang anaknya lapar , kasih makan saja padahal belum enam bulan. Mau gendong anak, katanya gak usah, nanti bau tangan. Anaknya mulai meludah, nanti rambut bakal rontok (padahal memang lagi fase oral), dan masih banyak lagi. Akhirnya si ibu pun bingung harus bagaimana padahal menjadi seorang ibu berarti belajar membuat keputusan sendiri. Keputusan janganlah hanya didasarkan pada ucapan orang yang “katanya….” ,”dulu waktu zaman ibu…,” atau “dari dulu dulu sudah begitu,” tapi bersandarlah pada pengetahuan.
Membuat keputusan sejak punya anak juga tidak bisa asal-asalan kan? Harus ada sumber referensi terbaru yang bisa dipercaya. Saking banyaknya referensi, terkadang jadi banjir informasi. Itu yang sempat terjadi saat Shadiq mengalami alergi makanan saat mulai MPASI. Saya pun sibuk mencari informasi mengenai alergi makanan pada bayi, baik dari internet, buku, juga bertanya pada seorang kenalan dokter , bertanya juga pada admin grup tentang menyusui yang juga seorang konselor laktasi. Alhasil, saya jadi bingung sendiri😅, yang mana yang harus saya ikuti. Sempat cemas dan sedih , apa yang salah sampai anak bisa alergi begitu. Namun, saat saya bercerita pada suami, suami hanya bilang, ” Yakin saja dengan pilihan kamu. Kamu kan sudah membaca panduan MPASI WHO yang terbaru. Makanan dicobakan kan memang untuk tes alergi kan? Ikuti saja yang paling update.”
Saya dan suami bukanlah orang yang langsung mudah percaya jika itu menyangkut tentang keamanan dan kesehatan anak. Contohnya saat memberikan obat ketika anak sakit. Obat kimia resep dokter menjadi pilihan terakhir saat anak sakit. Kenapa? Karena kami percaya ada penyembuhan secara alami, misalkan dengan memberikan ASI lebih sering, kompres air hangat, pijat bayi, memakai essensial oil khusus bayi, membuat diffuser alami, hingga mengendong bayi dikala sakit akan memberikan kenyamanan pada bayi dan mempercepat proses penyembuhan. Ketika diresepkan obat oleh dokter pun, tidak langsung kami beli, tapi kami searching dahulu, itu obat apa, jenis obat keras (simbol K merah) atau tidak, efek samping dan penggunaan nya bagaimana untuk bayi. Jika obat itu tidak dianjurkan bagi bayi usia 6 bulan (untuk saat ini bayi kami usia 6 bulan 3 minggu) meski sudah diresepkan dokter, maka tidak kami beli, karena khawatir ginjal bayi jika dipaksa minum obat kimia terus menerus. Kami tidak anti obat, tapi kembali lagi, jika imun tubuh bisa menyembuhkan sendiri, kenapa tidak kita bantu booster alami saja? Bahkan memeluk dan menggendong anak sembari mensugestinya bahwa ia anak yang kuat dan sehat akan memotivasi alam bawah sadar si kecil agar segera sembuh.
“Making your own decision” buat saya itu penting, meski sudah mendengarkan saran, nasihat dan banyak baca, tetaplah kata hati seorang ibu jarang meleset. Membuat keputusan sudah dimulai sejak bayi berada di dalam kandungan, bagaimana kriteria dokter kandungan yang diinginkan, metode apa yang akan dijalani saat proses persalinan, model pengasuhan apa yang akan dilakukan jika anak sudah lahir, menyusui eksklusif selama 6 bulan dan lanjut lagi hingga 2 tahun, hingga keputusan untuk resign bekerja , serta keinginan membuat MPASI homemade. Orang lain boleh memberi saran tapi tidak berhak mengintervensi ibu. Orang lain boleh memberikan pandangan tapi tidak berhak menyalahkan keputusan ibu dan membuat si ibu tertekan. Because being a mom is not an easy job. Being a mom is learning make your own decision😊.
“A good decision based on knowledge, not numbers.” -Plato