Papaku sahabatku. Sejak kecil, ia yang mengenalkanku pada buku sehingga aku jadi suka membaca seperti dirinya. Di rumah yang punya kebiasaan membaca buku hanya kami berdua, sedangkan ibu dan abangku tidak. Papa selalu mengajakku ke toko buku minimal dua kali seminggu, di sana aku boleh memilih buku apa saja yang aku suka dan aku pun bisa betah berlama-lama di toko buku. Namun, sejak aku bekerja dan tinggal di rumah kost aku sudah jarang ketoko buku berdua, lagipun papa punya banyak jadwal ke luar kota sehingga untuk bertemu dan ngobrol saja jarang. Papa, aku rindu ke toko buku berdua lagi….
Papaku adalah penyemangatku. Dia seorang yang demokratis dan berfikiran terbuka. Hal ini mungkin karena pekerjaannya menuntut beliau untuk selalu bertemu banyak orang dengan beragam karakter. Beliau selalu mau mendengar pendapatku. Tidak ada istilah diktator di rumah, semua boleh mengemukakan isi hatinya. Papa selalu mengajarkan untuk tidak pernah takut akan sesuatu, jika memang kita berada di pihak yang benar. Papa juga tidak pernah memaksakan aku harus jadi apa kelak. Dia suka mendorongku untuk terus menulis dan rajin mengirim ke media massa, karena dulu ia sempat bekerja sebagai penulis dan penerjemah freelance di sebuah majalah pariwisata. Tulisan papa bagus, aku pernah membaca tulisannya mengenai perjalanannya ke Budapest, Hungaria untuk menemani penari-penari tradisonal Indonesia yang menjadi wakil dalam sebuah festival kebudayaan. Papa, aku rindu bisa ngobrol banyak hal lagi denganmu…
Papaku mengungkapkan cintanya tanpa banyak kata. Dia memang tak banyak bicara. Namun, yang kuingat ia menangis terisak saat melepasku ketika selesai ijab kabul Desember tahun lalu dan berpesan pada suamiku untuk menjagaku dengan baik. Papaku terkadang lupa bahwa kini aku sudah menikah, dia masih suka menelepon dan bertanya aku pulang kerja nanti mau dijemput atau tidak, karena dulu papa selalu menyempatkan diri untuk menjemputku sepulang kerja bahkan hingga larut malam, dan kini ia masih kadang-kadang lupa bahwa posisinya sudah digantikan oleh suamiku yang selalu menjemputku. Papaku juga tiba-tiba mengirimkan sms atau whatsapp yang isinya cuma kalimat singkat, “ Minggu ini pulang kerumah?” Padahal aku tahu ia rindu dan ingin aku pulang tapi begitulah cinta seorang papa, sulit diungkapkan dengan kata. Sejak menikah, aku ikut suami dan tinggal terpisah dengan orangtua, jadi jarang bertemu papa.
Papaku seorang pekerja keras. Beliau tidak muda lagi, sudah berusia hampir 60 tahun tapi melihat parasnya , orang mungkin tidak akan menyangka usia segitu, karena papa terlihat lebih muda. Papa tetap giat bekerja hingga kini, walaupun fisiknya tak sekuat dulu. Ia sudah tidak sanggup sering-sering menyetir mobil sendirian karena beliau memiliki asam urat, sehingga ia lebih memilih untuk naik kereta api pulang dan pergi bekerja setiap hari. Papaku itu gengsian, dia tidak pernah meminta apapun pada anak-anaknya. Bagi beliau, pantang menadahkan tangan selama dirinya masih sanggup untuk bekerja. Papa itu sumber inspirasiku, membentuk pola pikirku menjadi perempuan yang berfikiran terbuka dan berwawawan luas. Perempuan yang berpendidikan namun tak melupakan kodrat sebagai wanita yang kelak akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Betapa aku merindukan segala hal tentang papa. Mudah-mudahan aku masih punya waktu untuk membahagiakannya.*
*Tulisan ini dibuat saat mengikuti “Lomba Hari Ayah 2016” yang diadakan oleh Vemale.com dengan revisi seperlunya tanpa mengubah isi cerita.