Kembali Ke Rumah: Catatan Pernikahan Tahun Ketiga

Loading

 

“Bagaimana hasil tes darahnya, Dok?” tanya saya.

“Leukositnya tinggi,Yun. Kamu sering demam ya?”

Percakapan singkat lewat whatapp tanggal 20 April lalu dengan seorang kenalan dokter umum yang baik hati, menjawab tanda tanya saya mengenai demam yang saya alami selama dua hari berturut-turut. Demam tinggi naik turun meski sudah minum paracetamol, bahkan panas badan sudah mencapai 39,5’C. Itulah juga menjadi alasan mengapa saya jarang sekali update tulisan di blog saya. Selama bulan April, kondisi kesahatan saya kurang baik. Batuk dan flu yang cukup parah dan berkepanjangan, bahkan  dahak yang berubah warna menjadi kehijauan, kental, dan sulit dikeluarkan mengindikasikan saya terkena infeksi. Saya fikir hanya common cold biasa, bermula dari radang tenggorokan, lalu batuk dan flu yang lama sekali sembuh. Hidung saya cukup lama tersumbat dan telinga ikut berdenging, saya tak mampu merasakan aroma masakan. Nafsu makan pun berkurang. Setelah melalui tes darah dan cek ke dokter spesialis paru, saya terindikasi bronchopneumonia. Mau tak mau harus minum antibiotik untuk membunuh bakteri yang bersarang di saluran pernafasan saya. Sekarang kondisi saya sudah membaik. Alhamdulillah.

Bulan April lalu menjadi bulan yang penuh tantangan bagi saya. Bukan hanya saya yang sakit, namun suami dan anak juga sakit. Untuk kali pertama sejak setahun ini, Shadiq batpil lamaaa sekali sembuh. Nafsu makannya menurun drastis. Sedih rasanya melihat ia sakit. Masakan apapun ditolaknya. Segala cara kami upayakan, mulai dari cara alami, seperti pijat ke ahli terapi, memberi dia makan sup ayam dan makanan berkuah lainnya, minum jus buah dll. Hingga akhirnya kami ke dokter juga. Disaat saya sedang demam tinggi, si kecil mulai sembuh.  Benar ternyata, “Dibalik setiap kesulitan, ada kemudahan.” Ada hikmah yang terselip. Dia mulai makan lahap kembali dan ceria lagi. Betapa bahagia saya. Saya pun termotivasi untuk sembuh.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5)

Lalu, saya merenung. Kenapa saya? Kenapa bisa leukosit saya tinggi? Saya searching di google semua hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Penyebabnya bisa bermacam-macam, salah satunya bisa baca disini. Kelelahan ataukah saya stres? Saat ini saya masih beradaptasi untuk kembali di rumah mama saya lagi setelah beberapa tahun menetap di Medan. Saya mungkin masih belum sepenuhnya rela untuk meminggalkan tempat yang sudah nyaman untuk saya. Contohnya saja disini kalau mau belanja kebutuhan sehari-hari, pasar cuma satu dan jauh. Yang dekat ada warung sayur, tapi mesti pagi-pagi kalau tak mau habis. Maafkan, saya memang bukan tipe emak-emak gardam yang subuh-subuh udah hunting belanja sayur. Nah, ini beda banget dengan di rumah dulu di Medan. Apa-apa dekat, pasar dekat, supermarket dekat, mall dekat, mau makanan apa aja ada, mau go food lebih gampang lagi. Dan yang paling buat saya bingung, di tempat sekarang tidak tahu kalau mau ajak anak main ke mana. Hanya satu mall disini disini dan saya bosan. Tak ada tempat publik atau sarana edukatif untuk anak. Saya merasa kehilangan dan belum move on dari lingkungan sebelumnya. Biasanya suka ajak Shadiq jalan ke taman pagi hari, siang ajak ke pasar buah dekat rumah, dan sore ajak dia main di mesjid yang halamannya luas.

Meski rumah mama besar, saya merasa kehilangan banyak momen kebersamaan dengan suami. Jarak rumah dan kantor yangg jauh, membuat suami harus pergi lebih pagi dan pulang lebih malam. Waktu bermain bersama anak jadi berkurang. Belum lagi jalanan yang macet, suami sudah kelelahan sampai rumah, dan kami jadi tak banyak ngobrol seperti dulu.

Baru saya menyadari, bahwa hal-hal kecil yang saya anggap biasa dulu, ternyata begitu berarti dan sangat saya rindukan. Seperti makan malam bersama, duduk di meja makan dan ngobrol apa saja setelah anak tidur. Pagi hari suami masih sempat belanja ke pasar, dan sarapan bersama, bahkan masih sempat mandikan si kecil dan ajak keliling seputaran gang naik sepeda motor. Si kecil juga senang, saat kami ajak ke beberapa taman kota, makan bekal bersama, memberi makan rusa, berenang dan banyak kegiatan outdoor lainnya. Ahh, lagi-lagi saya harus belajar berdamai dengan kondisi saat ini. Belajar mensyukuri yang ada saat ini.

Setelah melewati beberapa fase hingga pernikahan tahun ketiga, dari mulai belajar hidup mandiri sejak menikah, tinggal terpisah dengan orang tua, tinggal di rumah kontrakan yang sempit, hingga akhirnya pindah ke rumah kontrakan yang lebih lega. Saya pun mulai merasa nyaman, menapaki hari-hari bertiga saja dengan suami dan anak. Hingga akhirnya harus pindah lagi, kembali ke rumah orang tua, sungguh butuh penyesuaian yang tidak mudah bagi saya.

Semboyan rumahku istanaku yang sering saya dengar sejak masih kanak-kanak,  membuat saya berfikir bahwa rumah megah berhalaman luas dengan fasilitas lengkap adalah tempat paling ideal untuk tinggal. Hal itu tertanam dalam jiwa bawah sadar saya, hingga selalu saja ada yang kurang saat saya menempati sebuah rumah. Pada akhirnya saya pun menyadari, bahwa rumah bukan sekedar bangunan megah tanpa arti. Rumah besar dan mewah mungkin jadi sebentuk prestise bagi sebagian orang, namun tanpa cinta dan kehangatan keluarga maka semua terasa hampa. Hingga di tahun ketiga pernikahan, saya harus jujur pada diri sendiri, rumah besar juga tak selalu menjamin kebahagiaan. Kebahagiaan itu terletak di HATI kita. Dimanapun kita tinggal, jika kita tak memiliki rasa syukur, maka akan tetap terasa sempit. Yang paling saya butuhkan saat ini bukan sekedar rumah secara fisik, namun yang saya butuhkan rumah untuk pulang. I need a home, not only house. Rumah untuk pulang yang sebenarnya adalah keluarga terutama pasangan kita. Bagaimana sosok pasangan bisa selalu menjadi rumah yang kita rindukan. Begitupun sebaliknya. Pasangan kita selalu merindukan sosok kita sesibuk apapun dia. Rumah tanpa momen kebersamaan hanyalah jadi kesunyian yang menyedihkan. Bahkan makanan yang terhidang mewah akan terasa hambar saat kita nikmati dalam kesendirian bukan? Rumah yang sebenarnya adalah KELUARGA. Dan kebahagian itu terletak pada HATI dan PIKIRAN. Pelukan dan ciuman hangat pasangan adalah OBAT dari segala penyakit.Bagaimana? Sudahkah kamu menjadi sosok yang dirindukan pasangan? Yuk, pulang ke ‘rumah’!