Saga no Gabai Bachan : Nenek Hebat dari Saga

Loading

Judul : Saga no Gabai Bachan : Nenek Hebat Dari Saga

Pengarang : Yoshichi Shimada

Penerbit : Pustaka Inspira

Setelah sekian lama tidak mereview buku, maka kali ini saya coba mereview sebuah buku kecil, tipis, namun kisahnya benar-benar menyentuh hati dan sarat makna : Nenek Hebat dari Saga. Mengapa menyentuh hati? Karena buku ini mengajarkan makna kebahagiaan yang sejati bukanlah terletak pada benda-benda dan kekayaan yang bersifat materi, namun hati yang tulus dan bersih. Kisah di dalam buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata si penulis yang hidup bersama neneknya di Saga setelah mengalami kenyataan pahit berpisah dengan ibunya yang harus bekerja keras menghidupi mereka yang sulit setelah kejatuhan bom Hiroshima di Jepang. Nenek Osano, adalah potret kehidupan masyarakat yang teramat miskin pada zaman Jepang kala itu (1958) dan sudah berusia 58 tahun dan bertugas sebagai tukang bersih-bersih. Meski miskin, nenek selalu semangat dan ceria.

Beberapa peristiwa unik yang tak terlupakan si penulis adalah betapa Nenek Osano selalu mempunyai cara yang unik untuk terus bertahan hidup, terutama soal makan. Seperti ketika tulang ikan pun bisa tetap dimakan sebagai pengganti sup, juga ampas teh bisa dikeringkan dan dijadikan abon. Hal terunik lainnya adalah ketika Nenek Osano mengibaratkan sungai di belakang rumah mereka adalah supermarket pribadi yaitu nenek selalu mendapatkan sayur dan buah tersangkut dari perahu yang membawa sesajian untuk Budha dalam festival Obon saat musim panas di Jepang.

Peristiwa mengharukan lainnya saat mereka harus menahan hawa musim dingin yang menusuk tulang dan rumah mereka yang tradisional dan bobrok , membuat udara bertambah dingin. Maka Nenek Osano yang cerdik menggunakan termos air panas untuk menghangatkan kaki mereka dengan menyelipkannya di dalam selimut.

Kata-kata Nenek Osano yang tak terlupakan adalah :

“Tak masalah nilaimu dapat 1 atau 2, kalau digabung akan menjadi 3. Hidup itu kan gabungan dari berbagai kekuatan.”

“Ada dua jalan untuk hidup miskin. Miskin muram atau miskin ceria. Kita ini miskin ceria. Karena bukan baru iniĀ  miskin, maka tak perlu cemas.”

Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang dialami penulis yang begitu membekas dihatinya meskipun sudah berlalu berpuluh-puluh tahun lamanya. Nenek Osano meninggal di usia 91 tahun dengan tenang dan hingga kini kata-katanya masih terus menggema dihatinya. Betapa indahnya nila-nilai yang ditanamkan Nenek Osano dalam kehidupan si penulis. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita. (p. 14). Buku ini layak direkomendasikan bagi siapa saja, terutama yang ingin mengajarkan budi pekerti pada anak-anak .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *